Dalam
masyarakat Dayak, dipercaya ada ada suatu makhluk yang disebut-sebut
sangat agung, sakti, ksatria, dan berwibawa. Sosok tersebut konon
menghuni gunung di pedalaman Kalimantan, bersinggungan dengan alam gaib.
Pemimpin spiritual, panglima perang, guru, dan tetua yang diagungkan.
Ialah panglima perang Dayak, Panglima Burung, yang disebut Pangkalima
oleh orang Dayak pedalaman.
Ada banyak sekali versi cerita mengenai sosok panglima tertinggi
masyarakat Dayak, Panglima Burung, terutama setelah namanya mencuat saat
kerusuhan Sambas dan Sampit. Ada yang menyebutkan ia telah hidup selama
beratus-ratus tahun dan tinggal di perbatasan antara Kalimantan Barat
dan Kalimantan Tengah. Ada pula kabar tentang Panglima Burung yang
berwujud gaib dan bisa berbentuk laki-laki atau perempuan tergantung
situasi. Juga mengenai sosok Panglima Burung yang merupakan tokoh
masyarakat Dayak yang telah tiada, namun sahabat
anehdidunia.blogspot.com rohnya dapat diajak berkomunikasi lewat suatu
ritual. Hingga cerita yang menyebutkan ia adalah penjelmaan dari Burung
Enggang, burung yang dianggap keramat dan suci di Kalimantan.
Selain banyaknya versi cerita, di penjuru Kalimantan juga ada banyak
orang yang mengaku sebagai Panglima Burung, entah di Tarakan, Sampit,
atau pun Pontianak. Namun setiap pengakuan itu hanya diyakini dengan
tiga cara yang berbeda; ada yang percaya, ada yang tidak percaya, dan
ada yang ragu-ragu. Belum ada bukti otentik yang memastikan salah
satunya adalah benar-benar Panglima Burung yang sejati.
Banyak sekali isu dan cerita yang beredar, namun ada satu versi yang
menurut saya sangat pas menggambarkan apa dan siapa itu Penglima Burung.
Ia adalah sosok yang menggambarkan orang Dayak secara umum. Panglima
Burung adalah perlambang orang Dayak. Baik itu sifatnya,
tindak-tanduknya, dan segala sesuatu tentang dirinya.
Lalu bagaimanakah seorang Panglima Burung itu, bagaimana ia bisa
melambangkan orang Dayak? Selain sakti dan kebal, Panglima Burung juga
adalah sosok yang kalem, tenang, penyabar, dan tidak suka membuat
keonaran. Ini sesuai dengan tipikal orang Dayak yang juga ramah dan
penyabar, bahkan kadang pemalu. Cukup sulit untuk membujuk orang Dayak
pedalaman agar mau difoto, kadang harus menyuguhkan imbalan berupa r-k-k
kretek.
Dan kenyataan di lapangan membuyarkan semua stereotipe terhadap orang
Dayak sebagai orang yang kejam, ganas, dan beringas. Dalam kehidupan
bermasyarakat, orang Dayak bisa dibilang cukup pemalu, tetap menerima
para pendatang dengan baik-baik, dan senantiasa menjaga keutuhan warisan
nenek moyang baik religi maupun ritual. Seperti Penglima Burung yang
bersabar dan tetap tenang mendiami pedalaman, masyarakat Dayak pun
banyak yang mengalah ketika penebang kayu dan penambang emas memasuki
daerah mereka. Meskipun tetap kukuh memegang ajaran leluhur, tak pernah
ada konflik ketika ada anggota masyarakatnya yang beralih ke agama-agama
yang dibawa oleh para pendatang.
Kesederhanaan pun identik dengan sosok Panglima Burung. Walaupun sosok
yang diagungkan, ia tidak bertempat tinggal di istana atau bangunan yang
mewah. Ia bersembunyi dan bertapa di gunung dan menyatu dengan alam.
Masyarakat Dayak pedalaman pun tidak pernah peduli dengan nilai nominal
uang. Para pendatang bisa dengan mudah berbarter barang seperti kopi,
garam, atau r-k-k dengan mereka.
Panglima Burung diceritakan jarang menampakkan dirinya, karena sifatnya
yang tidak suka pamer kekuatan. Begitupun orang Dayak, yang tidak
sembarangan masuk ke kota sambil membawa mandau, sumpit, atau panah.
Senjata-senjata tersebut pada umumnya digunakan untuk berburu di hutan,
dan mandau tidak dilepaskan dari kumpang (sarung) jika tak ada perihal
yang penting atau mendesak.
Lantas di manakah budaya kekerasan dan keberingasan orang Dayak yang
santer dibicarakan dan ditakuti itu? Ada satu perkara Panglima Burung
turun gunung, yaitu ketika setelah terus-menerus bersabar dan
kesabarannya itu habis. Panglima burung memang sosok yang sangat
penyabar, namun jika batas kesabaran sudah melewati batas, perkara akan
menjadi lain. Ia akan berubah menjadi seorang pemurka. Ini benar-benar
menjadi penggambaran sempurna mengenai orang Dayak yang ramah, pemalu,
dan penyabar, namun akan berubah menjadi sangat ganas dan kejam jika
sudah kesabarannya sudah habis.
Panglima Burung yang murka akan segera turun gunung dan mengumpulkan
pasukannya. Ritual–yang di Kalimankan Barat dinamakan Mangkuk
Merah–dilakukan untuk mengumpulkan prajurit Dayak dari saentero
Kalimantan. Tarian-tarian perang bersahut-sahutan, mandau melekat erat
di pinggang. Sahabat anehdidunia.blogspot.com mereka yang tadinya
orang-orang yang sangat baik akan terlihat menyeramkan. Senyum di
wajahnya menghilang, digantikan tatapan mata ganas yang seperti
terhipnotis. Mereka siap berperang, mengayau–memenggal dan membawa
kepala musuh. Inilah yang terjadi di kota Sampit beberapa tahun silam,
ketika pemenggalan kepala terjadi di mana-mana hampir di tiap sudut
kota.
Meskipun kejam dan beringas dalam keadaan marah, Penglima Burung
sebagaimana halnya orang Dayak tetap berpegang teguh pada norma dan
aturan yang mereka yakini. Antara lain tidak mengotori kesucian tempat
ibadah–agama manapun–dengan merusaknya atau membunuh di dalamnya. Karena
kekerasan dalam masyarakat Dayak ditempatkan sebagai opsi terakhir,
saat kesabaran sudah habis dan jalan damai tak bisa lagi ditempuh, itu
dalam sudut pandang mereka. Pembunuhan, dan kegiatan mengayau, dalam
hati kecil mereka itu tak boleh dilakukan, tetapi karena didesak ke
pilihan terakhir dan untuk mengubah apa yang menurut mereka salah, itu
memang harus dilakukan. Inilah budaya kekerasan yang sebenarnya patut
ditakuti itu.
Kemisteriusan memang sangat identik dengan orang Dayak. Stereotipe ganas
dan kejam pun masih melekat. Memang tidak semuanya baik, karena ada
banyak juga kekurangannya dan kesalahannya. Terlebih lagi kekerasan,
yang apapun bentuk dan alasannya, tetap saja tidak dapat dibenarkan.
Terlepas dari segala macam legenda dan mitos, atau nyata tidaknya tokoh
tersebut, Panglima Burung bagi saya merupakan sosok perlambang sejati
orang Dayak.
Amun ikam kada maulah sual awan ulun, ulun gen kada handak jua bahual
lawan pian malah ulun maangkat dingsanak awan pian, begitu yang
diucapkan orang Kalimantan khususnya orang Banjar untuk menggambarkan
sikap dari orang-orang Dayak.
http://anehdidunia.blogspot.com